CerpenPapers Today

Hujan di Mata Selly

Website | + posts

Administrator maduratoday.com

Hujan di Mata Selly

“Mengapa kau menyukai hujan?”
Aku tak segera menjawab pertanyaan itu dan tetap memandang sepasang matanya yang cerah. Tak seperti langit yang sekarang. Perempuan yang nampaknya tak asing di benakku. Aku seperti mengenalnya. Tapi siapa?

Kulihat ia seperti tak peduli pada hujan yang gaduh di luar sana dan meskipun petir nyaris memecahkan jendela kamarku, ia diam saja. Kami diam saja. Demi memecah keheningan beberapa saat kemudian, kubilang, “Akan kujawab pertanyaanmu kalau kau bersedia menyebutkan siapa namamu.”

“Namaku Selly dan aku perempuan yang sama dengan yang kamu lihat pertama kali pada acara pernikahan teman karibmu.”

Mataku terbelalak. Dalam perasaan tidak percaya, mataku menyorot sepasang matanya, hidungnya yang mancung, gaunnya yang berwarna merah jambu. Benarkah nyata? Aku begitu ingin menyentuhnya.

***

Aku tiba-tiba terbangun dari tidur yang nyenyak dan melihat jarum jam mengarah pada angka dua. Ini jam dua dini hari. Di luar, hujan masih deras seperti saat aku hendak tidur.

Suaranya tenang dan seharusnya menjadi instrumen pengantar tidur yang paling ampuh. Tetapi, suara hujan tak bekerja sebagaimana biasanya sekarang karena kepalaku dipenuhi perempuan yang hadir dalam mimpi barusan. Itu seperti nyata tetapi aku masih tidak yakin sepenuhnya.

Berkali-kali aku menyingkirkannya dari dalam benakku, mencoba untuk terlelap lagi tetapi ia tetap tak mau hilang, seperti menjai penghuni baru dalam kepalaku. Setidaknya meskipun bisa dilupakan dengan mengalihkan fokus, ia tetap melintas dan hanya melintas seperti halnya kebahagiaan.

Ia memakai gaun dengan warna yang sama seperti yang kulihat saat menghadiri acara pernikahan teman karibku. Merah jambu. Tetapi, saat itu, mataku tak bisa menembus bagian wajahnya yang ditutupi masker. Hanya sepasang mata yang bisa kulihat. Awan mendung, hujan dan suasana agak redup saat itu, membawa kesan misterius padanya.

Setiap malam, setiap aku ingin tidur, dan setiap hujan turun membasahi atap rumah dan pohon-pohon, aku memikirkannya. Kami tak bertemu lagi semenjak acara pernikahan itu selesai—dan aku juga tidak tahu cara menemuinya karena sulit melacak identitasnya. Sekarang, Ia hanyalah bayang-bayang dalam kepalaku dan mungkin satu-satunya ruang yang dapat mempertemukan kami adalah mimpi. Ya, mimpi.

Saat ia kembali hadir dalam mimpiku seminggu kemudian—tetapi dengan suasana berganti cerah di luar sana dan sinar matahari menembus kaca jendela kamar, aku melihat awan mendung dan sejuta bisu dalam matanya. Perlahan, dari gumpalan awan hitam itu, tetesan air berjatuhan.

“Mengapa hujan pindah ke dalam matamu?” tanyaku.
“Aku tak akan membiarkan hujan berhenti, karena kau menyukainya. Tapi berikan aku alasan mengapa kau menyukai hujan.”

Dengan segenap keberanian, kukatakan padanya, “Selly, aku menemukan kedamaian dalam suara hujan, kedamaian yang juga kutemukan dalam sepasang matamu. Aku mencintai kedamaian yang ada dalam dua-duanya.”

Lalu, kulihat hujan di matanya semakin deras disertai petir dan kilat yang menjadikannya tampak menyeramkan. Genangan air dari hujan itu tumpah dari kelopak matanya, melewati pipinya dan berhenti di samping bibirnya. Ia bilang, “Jangan mencintaiku. Kumohon.”

Aku kecewa dan tak sanggup melihat tangisnya. Penampakkan seperti itu sangat menyesakkan dadaku—meskipun sesungguhnya yang lebih menyesakkan adalah perkataannya. Mengapa aku tidak boleh mencintainya? Aku ingin meraih kedamaian yang bisa kujumpai dari suara hujan dalam matanya.

“Kau harus ingat,” katanya, masih dengan tangis yang belum reda, “Dalam hujan, ada suara petir yang akan membuat jantungmu seperti mau copot. Hujan dan petir adalah satu bagian dan aku yakin kau tak akan siap mendengarnya saat mereka turun bersamaan.”

Ia benar. Aku memang takut suara petir. Tetapi saat terbiasa, petir tak akan terdengar seperti ancaman. Bukankah selalu ada petir dalam hati setiap man usia yang rapuh, yang membuatnya ketakutan? Dan bukankah kita memang harus menaklukkannya? Aku segera melingkarkan kedua lengan ke tubuhnya yang mungil, menciptakan kehangatan dalam pelukan. Tetapi, suasana sangat dingin, kaku dan bisu. Hanya suara petir yang memecah kebisuan di antara kami.

Malam-malam berikutnya, perempuan itu tak pernah muncul lagi di depan mataku, dalam mimpi dan kenyataan yang nyaris selalu pahit ini. Aku masih tetap menunggunya, dengan pikiran yang tidak bisa lepas dari Selly, hujan, petir, kedamaian dan kaitan antara keempat-empatnya.

Penulis : Michael Musthafa

Alumni LPI Nurul Jadid, Karduluk dan Pondok Pesantren Annuqayah. Sekarang belajar di UIN Suka Yogyakarta.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button